PROPERTY SOLO

PROPERTY SOLO

Bertambah Umur, Bertambah Manis

Share:





Abul Wafa' Ibnu Aqil, ulama besar yang wafat tahun 513 H, mengatakan, " Sungguh, aku merasakan semangatku thalabul ilmi di usia 80- an tahun, lebih menyala dibandingkan ketika saya masih berusia 20- an tahun ".


Sebagai catatan, Abul Wafa' berusia 83 tahun ketika meninggal dunia. Artinya, sampai tahun-tahun mendekati ajal, Beliau tetap berthalabul ilmi. Bahkan, semangatnya bertambah-tambah seiring usia yang terus menua.


Catatan berikutnya, Abul Wafa' sejak kecil telah menjalani thalabul ilmi dan menjadi penulis yang produktif. Al Funun, kitab karya beliau, mencapai ratusan jilid bahkan ada yang menyebutnya 800 jilid.


Ibnul Jauzi, ulama besar lainnya, masih semangat belajar ilmu Qiraat Al Qur'an di usia yang masuk 80- an tahun. Adz Dzahabi berpesan kepada kita, " Perhatikan semangat yang begitu tinggi ini!".


Subhaanallah! Ini sangat luar biasa. Kenapa usia yang semakin menua dan umur yang terus bertambah bukan menjadikan sebab berkurangnya semangat thalabul ilmi? Kenapa ya?


Rupa-rupanya, ilmu punya rasa. Rasanya manis. Semakin lama semakin manis. Waktu berlalu, membuat ilmu manis terlalu. Bahkan, puncak manisnya ilmu adalah di saat-saat sakaratul maut. Bukankah banyak ulama yang meninggal dunia dalam keadaan sedang belajar?


Ibnul Jauzi (Shaidul Khatir hal 197) menulis, " Demi Allah, saya tidak pernah mengenal orang dengan kedudukan terhormat, telah memperoleh macam-macam kelezatan yang tidak mungkin dicapai orang lain, kecuali para ulama yang ikhlas, seperti Al Hasan, Ahmad, dan Sufyan...Sungguh, lezatnya ilmu selalu bertambah lezat di atas kelezatan"


Ibnul Jauzi (Shaidul Khatir hal 165) mengenang, " Sungguh, ketika awal-awal thalabul ilmi, saya mengalami berbagai macam kesulitan yang menurutku justru rasanya lebih manis dibandingkan madu ".


Ibnul Jauzi bercerita tentang contoh kesulitannya ketika tidak ada makanan kecuali roti kering dan keras. Agar bisa dimakan, roti itu dicelupkan di air sungai 'Isa. Secuil roti dimakan harus segera minum seteguk air sungai.


" Semangatku tidak melihatnya kecuali sebagai sebuah kelezatan demi menuntut ilmu ", pungkas Ibnul Jauzi.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu' Fatawa 14/162) yang sampai wafat pun masih bersemangat thalabul ilmi menerangkan, " Tidak ragu sedikit pun bahwa lezatnya ilmu mengalahkan semua kelezatan yang ada. Kelezatan yang tetap dirasa walaupun telah mati, bermanfaat di akhirat, adalah lezatnya ilmu tentang Allah dan mengamalkannya, yaitu beriman kepada- Nya "


Jika merenungkannya, maka mudah difahami sebabnya. 


Ilmu rasanya manis. Menuntut ilmu memberikan kelezatan tiada tara. Sementara kehidupan dunia penuh kesulitan, kekecewaan, dan kepahitan. Semakin lama hidup, pahitnya semakin bertambah. Di saat-saat itu, ilmu semakin memanis dan menuntut ilmu bertambah melezat.


Jika mengalami yang sebaliknya, yaitu ketika ilmu dirasa pahit dan menuntut nya dianggap sulit, maka periksa kembali perangkat menuntut ilmu, barangkali ada yang rusak. Utamanya hati, cobalah teliti kembali, jangan-jangan hati yang belum bisa ikhlas? Sebab, bukan gula yang tidak manis, lidah lah yang tak berfungsi baik.


Ibnul Qayyim (Ad Dau wad Dawa hal 239) berkata, " Adakah kelezatan dan kenikmatan yang melebihi baiknya hati, lapangnya dada, mengenal Allah Ta’ala, mencintai- Nya, dan melakukan sesuai dengan kehendak Nya? Bukankah hakikat hidup itu dengan hidupnya hati yang selamat? "


Marilah saling memberi semangat untuk menua di jalan thalabul ilmi.


15 Dzulqa'dah 1446 H


No comments

Featured Post

SELAMAT ATAS KELAHIRAN PUTRINYA

 Alhamdulillah ya Rabb Selamat ya Mas Broh Diki dan adinda Novi atas kelahiran Putri tercinta nya (01.07.2025) Hari : Selasa wage Jam 05: 00...