Seorang raja ingin dirinya dilukis. Di galeri istana yang berisi foto-foto raja-raja yang memerintah, belum ada lukisan dirinya.
Dipanggillah para pelukis terbaik di kerajaan tersebut. Di hadapan para pelukis, raja mengumumkan akan memberikan hadiah yang banyak kepada pelukis yang terpilih.
Raja ingin dirinya dilukis seperti halnya raja-raja sebelum yang terlihat gagah dan berwibawa. Mendengar hal itu, satu per satu pelukis mengundurkan diri dengan berbagai alasan.
Mereka memang pelukis hebat, tetapi untuk menuruti keinginan raja tersebut, sangat sulit. Mereka takut lukisannya mengeewakan raja, dan akhirnya mendapat hukuman. Para pelukis berpikir tidak mungkin melukis raja yang satu kakinya pincang dan satu matanya buta terlihat gagah. Itu adalah hil yang mustahal.
Tinggallah seorang pelukis yang tersisa. Dia menyanggupi tantangan tersebut. Dia tahu risiko yang menyertai kesanggupannya. Namun, dia juga sadar bahwa itu kesempatan baik dan langka yang tidak boleh disia-siakan.
Setelah beberapa hari, pelukis itu berhasil menyelesaikan tugasnya. Pelukis yang lain meragukan hasilnya. Mereka menduga sesuatu yang buruk akan terjadi pada rekannya itu.
Pada hari yang ditentukan, pelukis membawa lukisannya ke istana. Lukisan itu diletakkan di meja berbentuk lingkaran. Berdiri, ditutupi kain putih bersih.
Raja mendekati lukisan tersebut. Suasana hening. Semua menahan napas. Yang terdengar hanya ketukan tongkat raja yang kian mendekat ke tempat lukisan itu.
Sampai di depan lukisan, raja diam sebentar. Semua yang hadir menundukkan kepala. Tak mampu membayangkan kalau raja sampai tersinggung dan murka.
Raja menarik kain putih pelan-pelan. Waktu seakan berhenti berputar. Tarikan itu terasa lama bagi siapa pun di ruangan itu.
Lukisan tersingkap sempurna. Semua kian tertunduk. Hanya raja yang berdiri mematung memandangi lukisan itu.
Sesungging senyum menghias wajah raja. Dia menatap dirinya dalam lukisan itu sedang naik kuda perang. Terlihat samping, sehingga kakinya yang cacat tidak terlihat. Di atas kuda itu, raja duduk gagah menggenggam busur panah. Sebuah anak panah diarahkan ke musuh, sehingga matanya yang buta seakan sedang membidik.
Raja berdehem. Darah hadirin kian berdesir. Mereka semakin tidak berani mengangkat kepala.
“Luar biasa! Aku suka lukisan ini,” kata raja.
Huft... Semua bernapas lega. Serentak mengangkat kepala, tersenyum, dan bertepuk tangan.
---
Tak banyak orang yang berani mengambil risiko. Hanya orang yang percaya dan mempunyai kompetensi yang sanggup melakukannya.
Banyak yang sebenarnya punya potensi. Sayang, nyalinya kecil. Daripada berhadapan dengan risiko, dia memilih mundur teratur.
Pun hanya dengan guru. Hanya sedikit guru yang berani mengambil risiko. Ketika ada peluang, tidak melihat hal tersebut sebagai kesempatan untuk membuat loncatan. Merekalah yang terlalu nyaman di zona nyaman. Baru mau bergerak ketika sudah ada yang mencoba.
Tentu saja guru yang seperti ini tidak pernah jadi pionir. Hanya pengekor. Selalu tertinggal. Hanya guru yang berani mengambil risiko yang bisa memimpin kemajuan. Pilih mana?
Wallahu a'lam bishawab.
sumber: suhudrois.gurusiana.id
Catatan pengupload: Bukankah kita semua adalah guru? Guru untuk anak kita di rumah dan untuk masyarakat disekitar kita
No comments