Kemarin, ada seorang jama'ah bertanya tentang beberapa hal yang mengganggunya. Hal yang simpel tapi tak mudah untuk dijawab. Seperti buah simalakama, dimakan salah ditinggal sayang
Saya menarik nafas, mencoba menjelaskan runut dan detail, namun tetap hati-hati. Semua dalil yang saya ketahui saya sampikan, 30 menit berlalu, maka saya sampai pada satu akhirnya
Kesimpulannya, "Kita hanya bisa berdiam diri soalan ini, tak perlu dikomentari, juga jangan dibahas". Sontak jamaah lain yang ikut mendengar protes berseloroh, "Ah ustadz, udah panjang bahasannya, ujungnya hanya minta kita diam", candanya
Saya tersenyum, "Saya jelaskan panjang dan detail, supaya antum paham, bahwa DIAM itu adalah hasil dari proses yang panjang dan melelahkan. Bahwa DIAM itu bukan instan, bukan menyerah, tapi bagian dari sikap terbaik", begitu
Karenanya Rasulullah berpesan sampai menekankan, "Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir", untuk menyampaikan hadits "Maka berbicaralah yang baik, atau haruslah dia DIAM", jelas
Bagi mereka yang dewasa, mereka harus mengetahui kapan harus berbicara. Tapi mereka yang bijaksana, mengetahui kapan harus DIAM. Begitulah pelajaran pada Zakariya, Maryam, dan banyak lagi
Saya sampaikan bukan karena saya paham, melainkan berkali-kali saya terjebak untuk lebih banyak berbicara, hanya untuk menunjukkan kesalahan yang lebih banyak lagi
Saya sampaikan bukan karena saya hebat, melainkan saya tahu, bahwa saya lebih banyak bicara dengan manusia ketimbang dengan Allah. Padahal manusia tak kuasa apapun
Betul, tak semua hal harus didiamkan. Setidaknya, berilah waktu bagi akal untuk melakukan tugasnya, sebelum didahului lisan. Bersabar, tak semua harus dijawab dan ditanggapi
ditulis @ustadzfelixsiauw
No comments