Mendidik anak adalah seni tersendiri. Apalagi jika anak tergolong unik, tentu memiliki nilai artistik.
Kata kuncinya ialah memahami secara sadar bahwa tiap-tiap anak mempunyai sifat dan karakternya.
Tiap anak berbeda dengan anak yang lain. Jangan paksakan anak untuk sama dan seragam dalam segala hal. Sehingga kita bisa lebih cermat dan bijak dalam proses mendidik.
Mestinya hal ini sudah kita sadari melalui kenyataan sehari-hari.
Sebuah produk otomotif dengan merk dan type yang sama, seringkali harus dengan perlakuan yang berbeda. Alat eletronik dari pabrikan yang sama, bukankah tetap saja berbeda? Beternak burung, kambing, sapi, atau hewan lainnya, apakah bisa kita pastikan sama hasilnya? Walau diberi perlakuan yang sama.
Apalagi manusia. Lebih-lebih anak.
Beberapa waktu yang lalu, saya diberi informasi oleh seorang pengajar bahwa Ibrahim, murid kelas I, menulis angka dan kata dengan terbalik. Latin ditulis dari arah kanan. Huruf dan angkanya pun terbalik seperti dilihat dari cermin. Uniknya lagi, Ibrahim mampu membaca buku Aisar karya Ustadz Fauzi dengan terbalik. Lancar!
Subhaanallah!
Lalu, saya tertarik untuk mengamati 5 murid di kelas I itu. Benar! 4 murid selain Ibrahim masing-masing memiliki keunikan. Ada yang tidak mau terlambat dan harus nomor satu tiba di kelas. Kalau terlambat sehingga menjadi nomor dua, anak itu kesal. Ada yang sejak hari pertama hanya diam dan tidak ikut bermain bersama teman-temannya. Tapi, ia tetap menyaksikan dan berekspresi dengan senyum atau tertawa. Ada yang aktifnya luar biasa. Satunya lagi biasa-biasa saja.
Manusia memiliki sifat berbeda-beda.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda dalam hadis Abu Musa riwayat Abu Dawud (4693) dan disahihkan Al Albani ( As Sahihah, 1630) :
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ مِنْ قَبْضَةٍ قَبَضَهَا مِنْ جَمِيعِ الْأَرْضِ، فَجَاءَ بَنُو آدَمَ عَلَى قَدْرِ الْأَرْضِ: جَاءَ مِنْهُمُ الْأَحْمَرُ، وَالْأَبْيَضُ، وَالْأَسْوَدُ، وَبَيْنَ ذَلِكَ، وَالسَّهْلُ، وَالْحَزْنُ، وَالْخَبِيثُ، وَالطَّيِّبُ
“ Sungguh, Allah menciptakan Adam dari segenggam tanah yang Dia genggam dari semua permukaan bumi. Maka, anak keturunan Adam lahir sesuai jenis tanah. Ada yang lahir dengan kulit merah, putih, atau hitam. Ada yang sifatnya lembut, kasar, buruk, dan baik “
Maka, mendidik anak haruslah dibangun di atas pondasi obyektifitas. Bukan bagaimana menuntut anak untuk memahami apa yang kita sampaikan, namun juga berusaha memahami apa yang diinginkan anak. Bukan pula memaksa anak untuk menguasai satu bidang yang bukan maunya, padahal ada bidang lain yang anak lebih senang di sana.
Mencari dan menggali kelebihan anak harus dilakukan. Sebab, setiap anak pasti punya kelebihan. Yang positif tentunya.
Kita pun harus mengamati perkembangan anak. Bukan hanya fisiknya. Mental, sosial, akademis, dan aspek-aspek lainnya pun mesti diperhatikan.
Jika memiliki sifat yang positif, harus didukung dan diarahkan. Dermawan, misalnya. Bantulah anak agar tepat di dalam berbagi dan memberi. Berilah contoh yang baik. Jangan pula kebablasan hingga malah boros atau tidak merawat barang.
Jika terlihat bibit sifat yang buruk, segera ditempuh langkah penyembuhan. Tidak mau mengalah, misalnya. Ajarilah anak untuk mengalah. Praktekkan di depannya. Jangan sampai keterusan. Khawatir ke depannya semakin parah. Memiliki karakter ingin selalu menang, memandang yang lain rendah, tidak mau dibilang salah, bahkan berani berbohong untuk menutupi kesalahan. Tentu kita tidak mau memiliki anak semacam ini, bukan? Apalagi kalau sudah terlanjur ditokohkan dan merasa banyak pengikut. Na’udzu billah
Lendah, 05 Dzulqa’dah 1444 H/25 Mei 2023
t.me/anakmudadansalaf
No comments