PROPERTY SOLO

PROPERTY SOLO

Bunga di Tembok Retak

Share:

 "Bunga di Tembok Retak"


Sore itu, matahari condong ke barat, cahayanya jatuh pada tembok tua yang sudah dipenuhi retakan. Di salah satu celah kecil, tumbuh sebuah bunga mungil berwarna merah muda. Tak ada yang menyiram, tak ada yang merawat, tapi ia tetap berani mekar di antara kerasnya batu.


Seorang anak kecil bernama Alya, berhenti ketika matanya menangkap keindahan itu.

“Bu… lihat! Ada bunga di tembok yang retak,” serunya polos, sambil menarik lengan ibunya.


Ibunya, seorang wanita paruh baya dengan mata lelah, menoleh sekilas.

“Hanya bunga liar, Nak. Tidak ada yang istimewa.”


Alya menggeleng keras. “Tidak, Bu. Cantik sekali. Kenapa bisa tumbuh di situ? Kan tidak ada tanahnya?”


Ibunya diam sejenak, lalu menghela napas panjang.

“Mungkin… bunga itu tidak tahu tempatnya salah. Tapi dia tetap berusaha hidup.”


Hari-hari berikutnya, Alya sering duduk di depan tembok itu. Ia berbicara pada bunga seakan sedang bercakap dengan sahabatnya.

“Kamu hebat sekali… Aku aja sering merasa lelah. Kadang aku pengen berhenti sekolah, Bu sering marah kalau aku lambat belajar. Tapi kamu? Kamu bisa tetap berdiri di sini, meskipun sendirian.”


Seorang kakek penjual mainan yang sering lewat mendengar celotehan Alya. Ia tersenyum, lalu mendekat.

“Nak, bunga itu bisa tumbuh karena akar kecilnya mencari jalan di sela retakan. Dia tidak menyerah hanya karena tempatnya keras.”


Alya menatap kakek itu dengan mata berbinar. “Jadi… meskipun aku susah, aku juga harus terus cari jalan?”


Kakek itu mengangguk. “Betul. Tuhan selalu kasih jalan, meski kecil sekali, asal kita mau berusaha. Tembok keras saja bisa ditembus akar kecil. Apalagi hati manusia yang sabar.”


Suatu malam, Alya mendengar ibunya menangis di dapur. Ayahnya sudah lama meninggalkan mereka, meninggalkan hutang, meninggalkan luka.

“Kenapa hidup ini berat sekali, ya Allah…” suara ibunya lirih, disertai isakan yang tertahan.


Alya menghampiri, memeluk pinggang ibunya.

“Bu, jangan nangis… Bunga di tembok retak aja bisa hidup, masa kita nggak bisa?”


Ibunya terdiam, lalu menatap anak kecil itu dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu dengar dari mana, Nak?”


“Dari bunga itu, Bu. Dari kakek penjual mainan juga. Katanya kalau akar aja bisa nemuin jalan di tembok keras, kita juga bisa. Allah pasti kasih jalan, ya kan?”


Air mata ibunya jatuh deras, bukan lagi karena putus asa, tapi karena haru. Ia mengusap kepala Alya.

“Ya, Nak… kamu benar. Allah tidak pernah meninggalkan kita.”


Hari berganti. Bunga di tembok itu tetap mekar, meski panas terik, meski hujan deras. Orang-orang yang lewat mulai memperhatikannya. Sebagian berhenti sejenak, sebagian hanya tersenyum tipis.


Namun bagi Alya dan ibunya, bunga itu bukan sekadar bunga. Ia adalah guru kecil yang mengajarkan arti kesabaran dan harapan.


Suatu sore, Alya kembali duduk di depan tembok itu, kali ini bersama ibunya.

“Bu, kalau aku besar nanti… aku mau jadi kayak bunga ini.”


Ibunya tersenyum, sambil menahan tangis bahagia.

“Maksudnya?”


“Aku mau tetap kuat, meskipun di tempat yang susah. Aku mau tetap kasih warna untuk orang lain, meskipun nggak ada yang peduli.”


Ibunya memeluk Alya erat. “Nak… kamu sudah jadi bunga indah di hati Ibu sejak lama.”


Dan sore itu, di bawah cahaya jingga matahari, air mata jatuh bukan karena kesedihan, melainkan karena harapan baru.


Bunga di tembok retak itu tak pernah bicara. Tapi lewat keberadaannya, ia mengajarkan:

🌸 Kadang keindahan lahir bukan dari tempat yang sempurna, tapi dari hati yang tak menyerah untuk tetap hidup.



No comments

Featured Post

Bunga di Tembok Retak

 "Bunga di Tembok Retak" Sore itu, matahari condong ke barat, cahayanya jatuh pada tembok tua yang sudah dipenuhi retakan. Di sala...