Yudhistira:
sumber @noname
Guru saya bercerita...
Akan kebanggaan dunianya:
Dari beliau yang sangat ku banggakan:
Dulu dikala aku kecil, aku selalu mendapat peringkat 1 baik di tingkat SD, SMP, SMA
Semua merasa senang, ibu dan ayah pun selalu memelukku dengan bangga. Keluarga sangat senang melihat anaknya pintar dan berprestasi.
Aku masuk perguruan tinggi ternama pun, tanpa embel-embel test.
Orang tua dan teman-temanku merasa bangga terhadap diriku.
Tatkala aku kuliah IPK ku selalu 4 dan lulus dengan predikat cum laude.
Semua bahagia, para rektor menyalamiku dan merasa bangga memiliki mahasiswa seperti diriku, jangan ditanya tentang orang tuaku, tentunya mereka orang yang paling bangga, bangga melihat anaknya lulus dengan predikat cum laude. Teman-teman seperjuanganku pun gembira. Semua wajah memancarkan kebahagiaan.
Lulus dari perguruan tinggi aku bekerja di sebuah perusahan bonafit. Karirku sangat melejit dan gajiku sangat besar.
Semua pun merasa bangga dengan diriku, semua rekan bisnisku selalu menjabat tanganku, semua hormat dan menghargai diriku, teman-teman lama pun selalu menyebut namaku sebagai salah satu orang sukses.
Namun ada sesuatu yang tak pernah kudapatkan dalam perjalanan hidupku selama ini. Hatiku selalu kosong dan risau. Perasaan sepi selalui menghantui hariku. Ya..aku terlalu mengejar duniaku dan mengabaikan akhiratku. Aku sedih...
Ketika aku berikrar untuk berjuang bersama barisan pembela Rasulullah SAW dan ku buang segala title keduniaanku, kutinggalkan duniaku untuk mengejar akhirat dan ridha-Nya. Seketika itu pula dunia terasa berbalik. Yaa... Dunia seperti berbalik. Kuputuskan untuk merantau & memilih mempelajari ilmu Al-Qur'an dan hadist serta kuhafalkan Al-Qur'an 30 juz.
Semua orang mencemooh dan memaki diriku. Tak ada lagi pujian, senyum kebanggaan, peluk hangat dll. Yang ada hanyalah cacian.
Terkadang orang memaki diriku, "buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya masuk pesantren.
Dia itu orang bodoh..! Udah punya pekerjaan enak ditinggalin...
Berbagai caci maki tertuju pada diriku, bahkan dari keluarga yang tak jarang membuat diriku sedih....
"Apa ada lulusan perguruan tinggi terkenal masuk pondok tahfidz..? Ga sayang apa udah dapat kerja enak, mau makan apa dan darimana lagi..?
Kata mereka..
Ya, pertanyaan itu terus menyerang dan menyudutkan diriku.
Hingga suatu ketika..
Ketika fajar mulai menyingsing, ku ajak ibu untuk shalat berjamaah di masjid, masjid tempat dimana aku biasa menjadi imam.
Ini adalah shalat subuh yang akan selalu ku kenang.
Ku angkat tangan seraya mengucapkan takbir. "Allaaahuu Akbaar"
ku agungkan Allah dengan seagung-agungnya.
Ku baca doa iftitah dalam hati ku, berdesir hati ini rasanya....
Kulanjutkan membaca Al-Fatihah,
Bismillahirrahmaanirrahiiim, (sampai disini hatiku bergetar ), ku sebut nama-Nya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang..
Alhamdulillahirabbil alamiin...
Ku panjatkan puji-pujian utk Rabb semesta alam..
Kulanjutkan bacaan lamat-lamat, kuhayati surah Al-fatihah dengan seindah-indah-nya tadabur, tanpa terasa air mata jatuh membasahi wajahku....
Berat lidahku utk melanjutkan ayat, Arrahmaanirrahiim,
kulanjutkan ayat dengan nada yang mulai bergetar....
Malikiyaumiddin, kali ini aku sudah tak kuasa menahan tangisku.
Iyyaka na'budu wa iyyaka nastaiin, "yaa Allah hanya Kepada-MU lah kami menyembah dan hanya Kepada-MU lah kami meminta pertolongan."
Hati ku terasa tercabik-tercabik, sering kali diri ini menuntut kepada Allah utk memenuhi kebutuhanku, Namun aku lalai melaksanakan kewajibanku Kepada MU.
Sampailah aku pada akhir ayat dalam surah Al-Fatihah. Ku seka air mata & ku tenangkan sejenak diriku.
Selanjutnya aku putuskan utk membaca surah "Abasa". Ku hanyut dalam bacaanku, terasa syahdu, hingga terdengar isak tangis jamaah sesekali. Bacaan terus mengalun, hingga sampailah pada ayat 34. Tangisku memecah sejadi-jadinya.
Yauma yafirrul mar'u min akhii, wa ummihii wa abiih, wa shaahibatihi wa baniih, likullimriim minhum yauma idzin sya'nuy yughniih...
Tangisku pun memecah, tak mampuku lanjutkan ayat tersebut, tubuhku terasa lemas....
Setelah shalat subuh selesai, dalam perjalanan pulang, ibu bertanya : "mengapa kamu menangis saat membaca ayat tadi, apa artinya..?"
Aku hentikan langkahku dan aku jelaskan pada ibu. Kutatap wajahnya dalam-dalam dan aku berkata :
"wahai ibu..
Ayat itu mejelaskan tentang huru hara padang mahsyar saat kiamat nanti, semua akan lari meninggalkan sudaranya...
Ibunya...
Bapaknya..
Istri dan anak-anaknya..
Semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing.
Bila kita kaya orang akan memuji dengan sebutan orang yang sukses dan berjaya...,
Namun ketika kiamat terjadi apalah gunanya segala puji-pujian manusia itu....
Semua akan meninggalkan kita. Bahkan ibupun akan meninggalkan aku..
Ibu pun meneteskan air mata, kuseka air matanya...
Ku lanjutkan, "Aku pun takut bu bila dimahsyar bekal yang ku bawa sedikit.."
Pujian orang yg ramai selama bertahun-tahun pun kini tak berguna lagi....
Lalu kenapa orang beramai-beramai menginginkan pujian dan takut mendapat celaan. Apakah mereka tak menghiraukan kehidupan akhiratnya kelak...?
Ibu kembali memelukku & tersenyum. Ibu mengatakan, "betapa bahagianya punya anak seperti dirimu..."
Baru kali ini aku merasa bahagia, karena ibuku bangga terhadap diriku.
Berbagai pencapaian yang aku dapat dulu, walaupun ibu sama memelukku namun baru kali ini pelukan itu sangat membekas dalam jiwaku.
Wahai manusia sebenarnya apa yang kalian kejar..?
Dan apa pula yang mengejar kalian..?
Bukankah maut semakin hari semakin mendekat...?
Dunia yang menipu jangan sampai menipu dan membuat diri lupa pada negeri akhirat kelak
Wahai saudaraku,
apakah kalian sadar nafas kalian hanya beberapa saat lagi..?
Sebelum lubang kubur kalian akan digali..
Apa yang aku dan kalian banggakan dihadapan Allah dan Rasul-Nya kelak...?
Wallahua'lam...




No comments