Paling tidak ada 3 pelajaran hidup dari kisah di atas yang bisa dicatat :
1. Jangan mudah berucap! Timbang-timbanglah dengan masak. Walau dibilang lamban, atau dikata lambat, tidak mengapa. Daripada terburu-buru lalu menyesal kemudian tak berguna.
Ingat, tidak semua kejadian patut dikomentari. Tidak setiap peristiwa direspon. Pilah-pilih lah mana yang perlu dipikirkan. Jangan semua-semua dipikir. Tak kan mampu kita.
Dua orang yang sedang berjalan bersama, kenapa dikomentari? Hanya karena yang satu buta sebelah mata, lainnya lemah penglihatan?
Duh, betapa sering kita mengomentari. Sudah banyak kata keluar terucap karena menanggapi. Padahal, bukan kemaslahatan!
2. Jangan egois!
Seringkali seseorang mengabaikan yang lain. Hanya karena merasa benar. Hanya disebabkan ia yakin tidak salah. Oh, bukan sesempit itu!
Coba pertimbangkan, apa dampak ucapanmu? Apa efek perbuatanmu? Apa akibat sikapmu?
Jika masih ada pilihan lain yang lebih selamat, kenapa tidak? Bila ada alternatif, kenapa memaksakan diri?
Jangan menyebabkan orang lain berburuk sangka! Jangan membuat orang lain ghibah! Jangan menyengaja supaya orang lain iri!
Contohlah Ibrahim an Nakha'i! Beliau yang dipuji Imam Ahmad bin Hanbal sebagai , " Ulama cerdas, hafiz, dan penegak Sunnah "
3. Jangan menilai orang sebatas fisiknya!
An Nakha'i memang cacat mata, namun hatinya bersih. Jernih. Bening. Rahimahullah.
Sementara, di sana, banyak yang baik fisiknya bahkan dibilang hampir sempurna, namun akhlak dan perilakunya jauh dari kata mulia.
Fisiknya istimewa, namun rela melakukan hal-hal yang hina. Karena, mulia atau hina tidak ditakar oleh fisik, namun diukur dengan akhlak yang luhur.
Jogja, 02 Ramadhan 1443 H/04 April 2022
No comments