Abu Hakim disebut oleh Adz Dzahabi sebagai Al Qudwah (panutan umat) dan Al 'Allamah (berilmu luas).
Nama lengkapnya Ibrahim bin Dinar an Nahrawani. Seorang ulama ahli fikih bermadzhab Hanbali dari kota Baghdad.
Secara spesifik, Abu Hakim dikenal sebagai ahli hukum di bidang ilmu waris. Sebuah cabang ilmu yang semakin hari semakin menghilang.
Di dekat gerbang kota Baghdad, tepatnya pintu Al Azujj, Abu Hakim mendirikan sebuah madrasah fikih. Umurnya dihabiskan mengabdi untuk pembelajaran umat di sana sampai wafatnya.
Kesederhanaan adalah cermin hidupnya. Walau demikian, Abu Hakim pantang berharap pada orang. Beliau tak mau hidup dengan diberi atau dibagi. Bagi beliau, kehormatan diri adalah identitas.
Oleh sebab itu, untuk mencukupi kehidupannya, Abu Hakim bekerja sebagai penjahit baju. Tarif tinggi tidak dipatok. Harga tidak di atas rata-rata. Bahkan, upah jahit satu stel pakaian, Abu Hakim hanya mengambil 2 keping uang saja. Sangat murah!
Abu Hakim sering dijadikan lambang kesabaran dan keluasan hati. Tidak pernah diketahui marah. Tidak pernah terlihat emosi.
Sejumlah orang pernah secara sengaja dan terencana membikin beliau marah. Apa hasilnya? Nihil. Nol. Tidak berhasil. Abu Hakim tetap tidak marah.
Selain mengelola madrasah, Abu Hakim juga membuka semacam panti khusus orang-orang jompo dan orang-orang yang sakit-sakitan. Merawat dan mendampingi mereka, Abu Hakim selalu bermanis senyum dan berwajah ceria.
Setelah hidup selama 75 tahun, Abu Hakim meninggal dunia pada tahun 556 H.
Ibnul Jauzi, murid kepercayaan beliau, memuji : "Abu Hakim adalah sosok yang zuhud, giat beribadah, senang berpuasa, dan sering dijadikan contoh dalam hal kesabaran dan kerendahan hati"
Beberapa pelajaran hidup dari biografi Abu Hakim :
1. Teladan indah akan kezuhudan! Biografinya yang ringkas adalah bukti beliau tidak senang popularitas. Amal bakti beliau riil dan nyata, namun tidak dijadikannya untuk menaikkan elektabilitas. Bukan untuk dikenal atau terkenal yang beliau inginkan. Bukan untuk disebut-sebut atau dikenang-kenangkan dalam buku-buku sejarah. Bukan untuk itu!!
2. Kehormatan diri adalah identitas yang harus dijaga. Jatidiri seorang muslim adalah kemandirian dan berdikari. Ia tak mau dilabeli sebagai beban orang lain. Ia tak ingin bertengadah tangan meminta kepada makhluk. Lebih baik tak punya apa-apa daripada menjadi budak manusia.
3. Orang berilmu tidak diukur dengan seberapa banyak ilmu yang dipunya. Keilmuan seseorang ditakar dengan seberapa banyak amal bakti yang ia lakukan. Seberapa aktif ia bermanfaat untuk umat, itulah patokannya! Sebab, sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya!
Semoga Allah senantiasa melimpahkan istiqamah untuk kita.
Hujan di Garung
07 Sya'ban 1443 H/10 Maret 2022
No comments