Ada orang bertanya pada saya, "Lix "Udah Putusin Aja" itu kategori buku apa?". Saya jawab "Non-fiksi". Lalu ditanya lagi, "Kalau serial Ghazi?". Saya balas lagi "Fiksi sejarah". Begitu
Fiksi sejarah, terkesan memang aneh, sebab sejarah harusnya non-fiksi, bagaimana bisa dicampur dengan fiksi? Maksud saya, seri "Ghazi" ini fiksi tapi berdasar sejarah, walau saya tidak berani mengklaim 100% benar, sebab saya masih manusia
Itulah penggolongan karya manusia yang ada fiksi ada juga non fiksi, bisa jadi faksi atau puisi. Bila sudah bicara fiksi, maka batasan menulis bisa lebih diperluas, tak perlu 100% benar, dan tidak ada yang protes
Misal Harry Potter merapal mantra "Expecto Patronum" berbentuk rusa berkilat, anda tak perlu protes tentang masuk akal atau tidak, cukup berimajinasi tentangnya. Atau bagaimana Ang Cit Kong mengayun Tongkat Penggebuk Anjing, ini juga tinggal diimajinasi saja. Fiksi memang pasti akan merangsang daya imajinasi
Tapi bukan berarti semua yang membuat berimajinasi adalah fiksi. Ini logical fallacy, ini kelemahan berpikir. Apalagi karena logika hancur tak Islami semisal ini lantas kita menyamakan Al-Qur'an dengan fiksi, ini kesalahan lebih parah lagi
Sebab kita menurunkan derajat Al-Qur'an dari ilahiyah (dimensi Tuhan) menuju insaniyah (dimensi manusia). Al-Qur'an tidak lagi kita tempatkan dalam maqamnya, keadaan seharusnya. Sebagaimana Muktazilah yang menganggap Al-Qur'an itu setara makhluk
Allah mengatakan Dia Mahacinta dan Mahakasih, tapi bukan artinya Allah itu manusiawi, sebab Allah itu tidak boleh dsetarakan dengan makhluk-Nya, begitu contohnya
Yang disebut memang tidak langsung Al-Qur'an, tapi Al-Qur'an pun dipahami Muslim sebagai kitab suci. Karenanya saya tak ingin bila anak-keturunan saya menganggap bahwa Al-Qur'an itu fiksi, gara-gara kita semua diam sebab kita hanya berpijak pada kepentingan yang sama bukan kebenaran Islam
Pastikan diri kita berjuang dan berdakwah sebab Allah bukan hanya kepentingan sekilas mata, bukan urusan dunia. Jangan hanya sebab urusan sementara, lantas kita tutup mata akan kesalahan, bahkan membenarkan yang salah, atau membela kesalahan
Saya paham betul gerombolan penista agama penjilat rezim fiktif ini memanfaatkan situasi, melapor atas dasar penistaan agama padahal mereka ahlinya. Tapi tetap saja, menerima bahkan membela pernyataan "(Kitab suci) Al-Qur'an itu Fiksi", sama sekali tak terlintas dan tak pantas bagi saya
Kita tak bisa menyapu dengan kotoran, tak bisa melihat dengan kegelapan. Islam itu murni tak perlu campuran, Allah memenangkan yang taat bukan yang banyak, yang benar bukan yang pintar. Cukup bagi kita "Al-Qur'an itu kalamullah"
***
narasumber by : Ustadz Felix Siauw
No comments