PROPERTY SOLO

PROPERTY SOLO

MAKNA DALAM NAMA

Share:

 APAPUN KATA YANG KITA KELUARKAN, PUNYA KESEMPATAN UNTUK DILIHAT DAN DITIRU ORANG LAIN


Sayyid Abbas Al-Maliki adalah ulama ternama di Mekkah pada masanya. Beliau guru sekaligus khatib di Masjidil Haram, serta mufti Mazhab Maliki. Beliau wafat tahun 1353 H dan mata rantai keilmuannya dilanjutkan oleh anak keturunannya hingga hari ini.


Suatu waktu beliau pergi ke Mesir mengunjungi alim yang terkenal yaitu Syeh Ali Al-Qathi di dusun Qathiah. Setelah kedua orang salih ini berbincang-bincang menumpahkan rasa rindu, Syeh Ali berkata,


"Wahai Sayyid, tolong doakan penduduk kampung kami ini."


"Memangnya ada apa wahai Syeh?" Tanya beliau.


"Penduduk kampung ini sering bermusuhan dan tidak bertegur sapa." Syeh Ali menjelaskan kerisauannya.


"Boleh jadi karena nama kampung ini Qathiah. Bagaimana kalau engkau mengganti namanya menjadi Muthiah?"


Saran beliau rupanya disambut baik. Qathiah dalam bahasa Arab artinya putus. Sedangkan Muthiah berarti patuh. Syeh Ali mengerti bahwa "putus" memiliki kesan yang negatif. Bisa berarti putus silaturahmi, putus rezeki, putus karunia, dan sebagainya.


Sebaliknya kata "patuh" mengandung nilai positif. Karena menyebut patuh saja langsung pikiran kita membayangkan patuh pada perintah Allah.


Singkat cerita kampung itu lambat laun hidup dalam kerukunan dan ketenangan. Syeh Ali pun kemudian dikenal sebagai Syeh Ali Al-Muthi.


Kisah sederhana ini mengajarkan kepada kita tentang pentingnya berkata positif. Bukankah dahulu kota tempat hijrah Rasulullah bernama Yastrib yang artinya "menghardik"? Tetapi Allah menyebutnya sebagai Madinah sesuai firman-Nya dalam surat At-Taubah ayat 120.


مَا كَانَ لِأَهْلِ ٱلْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُم مِّنَ ٱلْأَعْرَابِ أَن يَتَخَلَّفُوا۟ عَن رَّسُولِ ٱللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا۟ بِأَنفُسِهِمْ عَن نَّفْسِهِ


_"Tidaklah patut bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul."_


Dengan demikian jelaslah bahwa membiasakan diri untuk berkata positif bersumber dari Al-Quran. Maka kita harus melatih kebiasaan ini dari sekarang. Apalagi di era digital seperti ini, ketika semua orang merasa bebas untuk melayangkan komentar negatif di media sosial. 


Jari jemari mereka seolah semakin ringan dan tanpa beban mengetik kata-kata kebencian karena mereka meniru dari komentar-komentar yang sebelumnya. Entah bagaimana seorang muslim mudah sekali mengabaikan teladan dari Al-Quran dan berganti mengikuti contoh dari para _haters_ yang tidak mereka kenal sama sekali.


Mari kita ledakkan kebiasaan untuk berkata positif di media sosial. Mulai dari satu orang diikuti seribu orang, kelak seribu diikuti oleh sejuta orang. Maka di masa mendatang, berapa banyak orang-orang yang tidak lagi berujar negatif karena tidak ada lagi yang menjadi contoh untuk mereka tiru.


✏️ _Sahabatmu, Arafat._

No comments

Featured Post

HIDUP TIDAK PERNAH BERMASALAH, KITALAH SENDIRI YANG MEMBUATNYA MENJADI MASALAH

  "Hari ini sungguh sial. Jalanan macet, angkot biadab berhenti sembarangan, bos di kantor kurang ajar, mengapa semua orang menjadi bod...