“Wahai Imam”, ujar seseorang pada 'Alimnya Tabi'in Kufah, Amir ibn Syurahbil Asy Sya'bi, “Jikalau aku mandi di sebuah sungai, maka ke manakah aku harus menghadap? Apakah ke arah kiblat, membelakanginya, atau menghindar dari arah keduanya? Dan bagaimana pula jika suatu kali aku tak tahu di mana arah kiblat?”
.
Imam Asy Sya’bi tersenyum. “Menghadaplah ke arah di mana pakaianmu kau letakkan”, ujarnya lembut, “Agar jangan sampai ia terhanyut atau diambil orang.”
.
Imam Asy Sya'bi barangkali tak berniat melucu. Tapi jawaban beliau menerbitkan senyum, sekaligus membawa kita ke perenungan panjang bahwa agama ini mudah, dan siapa mempersulitnya justru akan memayahkan diri sendiri.
.
Jadi, apakah "lucu" itu?
.
Menurut Kang @daan_aria, ada banyak tingkatan lucu. Dan yang paling tinggi adalah ketika kelucuan itu membuat setiap penyimaknya menertawakan diri sendiri, bermuhasabah terus dengan interpretasi masing-masing yang tak selalu sama satu dengan yang lain, senantiasa terkenang sepanjang hayat, atau bahkan berubah hidupnya menjadi lebih baik karenanya.
.
Masih tentang Imam Asy Sya'bi, di saat lain beliau sedang berjalan bersama sang istri pada suatu keperluan, ketika seorang jahil mencoba mengusilinya. "Ya Imam", kata orang itu, "Siapa nama istri Iblis?"
.
Imam Asy Sya'bi menoleh ke arah si penanya dengan wajah bingung, lalu menjawab, "Waduh. Kami tidak diundang ke walimahnya."
.
Lucu barangkali pula menjadi tingkah pengakrab hati dengan para objek dakwah, juga laku mulia agar tak terjebak membalas hal buruk dengan yang lebih buruk. Dengan lucu yang tanpa dusta dan tak merendahkan sesama, kemanusiaan jadi cerah berwarna.
@SalimAFillah
No comments