PROPERTY SOLO

PROPERTY SOLO

BERAS FITRAH

Share:

Ini kejadian nyata pada akhir Ramadhan di tahun 2005.

Waktu itu aku menggelandang di Surabaya, mencari rongsokan, mengorek tempat sampah untuk mencari makan.


Bila malam tiba aku beristirahat di pinggir kali Peneleh. 

Dengan beralas kardus bekas dan berselimut karung yang kujahit agar jadi lebih besar, untuk mencari rongsokan.


"Assalamualaikum."  suara Zindan membubarkan lamunanku.


Zindan sama dengan aku, namun ia lebih lama menjadi gelandangan, ia sudah membuat gubukan di daerah Kali asin, ia berasal dari Palembang, ilmu agamanya sangat baik, membuat aku suka ngobrol sama lelaki empat puluh tahun itu.


"Waalaikum'salam."  aku bangkit dari tidurku dan menjabat tangannya.


"Kalo abis buka jangan tidur Mus, nih ada rejeki." Zindan memperlihatkan kresek berisi beras padaku.


"Kamu dapat jakat Dan?" tanyaku menebak.


"Iya, tadi aku dapat zakat, aku bingung buat apa beras ini, mau dimasak pun ga ada kompor, dari pada dijual, lebih baik aku fitrah kan lagi saja sama kamu."  Zindan memberikan kresek itu padaku.


"Mus, aku niat fitrah sama kamu, tolong diterima ya." kulihat tatapan matanya serius, aku tak berani menolaknya.


"Terimakasih, saya terima zakatnya." Aku menerima beras dari Zindan.


"Tapi beras ini untuk apa? Aku juga ga punya kompor untuk masak." aku menatap beras di pangkuanku.


"Kamu sudah fitrah?"


"Belum."


"Ya udah buat fitrah lagi aja."


Aku terdiam sesaat, memikirkan pada siapa aku akan memberikan beras fitrah ini.


"Ah aku mau fitrah sama pak Mar aja." Aku lalu bangkit dari dudukku. 


"Ke Stasiun pasar turi ya? aku ikut Mus, udah lama juga ga liat Pak Mar." Zindan berdiri mengikutiku. 


Pak Mar juga gelandangan sama seperti aku dan Zindan.

Ia lulusan SMA, usianya kira-kira empat puluh lima tahun (waktu itu) ia adalah gelandangan terpintar yang pernah aku temui, bahasa inggrisnya fasih, matematika, sejarah, sampai hukum fisika dia sedikit ngerti, dan ia juga pandai main gitar, karna itu dia sering ngamen di kereta. 


Tak sulit mencari pak Mar di Stasiun kereta, karna ia selalu berada di gerbong terbengkalai di pojok stasiun.


"Assalamualaikum." 


"Waalaikum'salam." 


"Wah Mus, Dan! tumben nih kesini ada apa?" Wajah pak Mar sumringah menerima kedatangan kami.


"Ini pak Mar, saya ada beras, saya mau niatin fitrah sama pak Mar." aku serahkan beras yang kebawa pada pak Mar.


"Oooooh, ya aku terima ya Mus, tapi ini berasnya buat apa? akukan ga punya kompor, apa aku jual aja ya?"


"Pean udah fitrah pak?" tanya Zindan.


"Belum."


"Pake buat fitrah aja itu berasnya."  saran Zindan.


"Wah, iya juga, ya udah aku mau fitrah dulu dah." Pak Mar tersenyum. 


Aku dan Zindan pun kembali ke pinggir kali Peneleh tempat ku.


Malam semakin larut, aku asik berbincang dengan Zindan. 

Sebelum tiba-tiba Pak Mar mendatangi kami dengan membawa beras yang ku berikan tadi.


"Asalam'mualaikum." Pak Mar langsung duduk karna lelah berjalan kaki dari Stasiun Pasar turi ke pinggir Kali Peneleh.


"Walaikum salam, ada apa pak Mar? kok berasnya dibawa lagi?" tanya Zindan.


"Bingung aku Dan, berasnya balik lagi ke aku, bagaimana ini?" Pak Mar atur nafasnya yang ngos-ngosan.


"Kok bisa?" tanyaku.


"Jadii gini, berasnya aku buat fitrah sama si Anton, terus Anton fitrah ke si Udin, terus Udin fitrah ke si Unyil, terus Unyil Fitrah ke Wanto, terus Wanto Fitrah ke Doeh, terus Doeh Fitrah ke aku, lah aku bingung, terus aku ke sini aja, aku mau fitrah lagi ke kamu Dan." Pak Mar memberikan beras pada Zindan.


"Pak Mar kan udah fitrah, kok fitrah lagi?" Tanya ZIndan.


"Abis berasnya buat apa? aku bingung!" tanya pak Mar.


"Yo wis, kitakan udah Fitrah semua nih, bagaimana kalo berasnya kita tuker sama kopi aja tuh di warung Bu Gendut." usulku yang disetujui oleh kedua temanku.


"Bu boleh ga Beras ini tuker kopi tiga gelas?" tanyaku pada Bu Gendut pemilik warung kopi.


"Oh iya ga papa mas, monggo duduk." Bu Gendut mempersilahkan kami duduk.

Akhirnya kami ngopi bertiga, beras Zakat ditukar kopi tiga gelas.


Setelah kopi habis kamipun beranjak dari warung Bu Gendut.

"Eh mas tunggu dulu, ini maaf, saya mau Zakat sama pean, tolong di terima ya." Bu Gendut memberikan beras yang kami tukar kopi itu, pada Pak Mar.


Kami bertiga hanya bisa saling pandang.


TAMAT.


-Ahmad Musthafa-

https://t.me/moeslemdays

No comments

Featured Post

HIDUP TIDAK PERNAH BERMASALAH, KITALAH SENDIRI YANG MEMBUATNYA MENJADI MASALAH

  "Hari ini sungguh sial. Jalanan macet, angkot biadab berhenti sembarangan, bos di kantor kurang ajar, mengapa semua orang menjadi bod...