Puncak Sabampolulu di Pulau Kabaena terlihat jelas. Pulau Talaga Besar dan Talaga Kecil di ujungnya jernih dipandang. Sore itu di tepi pantai pasir putih Mawasangka Induk menghadap sebuah selat yang memisahkan Pulau Kabaena dengan Pulau Muna.
Mawasangka yang dahulu satu kecamatan, setelah pemekaran wilayah, menjadi 3, yaitu Induk, Tengah, dan Timur.
Desa Lantongau, lokasi kajian, terletak di kecamatan Mawasangka Tengah.
Seperti daerah kepulauan Buton pada umumnya, Mawasangka juga berkontur bebatuan karang berwarna putih. Ada Teluk Banggai yang melengkapi dengan warna air lautnya yang biru kehijau-hijauan, serta hamparan bagan-bagan ikan dan budidaya rumput laut.
Alhamdulillah dakwah Salaf telah familiar di Mawasangka. Masyarakat yang tertarik dan menerima dakwah semakin banyak dan terus berkembang.
Walau di tahun 2001, 23 tahun lalu, sempat terjadi konflik yang lumayan besar, namun hal itu seolah terlupakan.
Apalagi, bi idznillah, dua tokoh masyarakat yang dahulu paling menentang, yaitu kepala desa dan imam kampung, justru sekarang anak-anaknya bergabung dan menempuh jalur thalabul ilmi. Walhamdulillah
Iya, berdakwah mesti melalui proses. Ada lika-likunya. Ada pasang surutnya. Ada suram dan terangnya. Yang terpenting adalah menjaga niat tetap ikhlas, karena apapun yang niatnya Lillah, itulah yang akan bertahan teguh.
Salah satu tema yang diangkat dalam rangkaian kajian di Desa Lantongau, adalah perumpamaan orang beriman yang disebut oleh Nabi Muhammad ﷺ ibarat lebah.
Beliau ﷺ bersabda :
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ أَكَلَتْ طَيِّبًا وَوَضَعَتْ طَيِّبًا وَوَقَعَتْ فَلَمْ تَكْسِر ولم تُفْسِد
" Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan- Nya. Sungguh! Permisalan orang beriman seperti lebah. Yang dimakan baik, yang dihasilkan baik, dan dimanapun hinggap tidak membuat patah dan tidak merusak " HR Ahmad dari sahabat Abdullah bin Amr.
Al Munawi dalam Faidhul Qadiir (5/511) menyebutkan beberapa aspek persamaan antara orang beriman dengan lebah, seperti : kecerdasan, tidak mengganggu, menjauhi hal-hal kotor, makan makanan yang baik, taat pada pimpinan, dan beberapa hal lainnya.
Selain yang disebutkan Al Munawi, lebah juga memiliki karakter hidup saling bekerjasama dengan baik. Nah, orang yang beriman semestinya pun demikian.
Memang beda! Artinya, satu tempat dan lainnya tidak bisa disamakan. Termasuk apa yang di Mawasangka, boleh jadi tidak bisa disamakan di tempat yang lain. Paling tidak, saudara-saudara kita di sana hendak meniru lebah.
Mulai tahun 2021, sebidang tanah wakaf mulai dikerjakan untuk mendirikan sebuah masjid. Kini, walaupun masih terus dikerjakan, masjid itu telah dimanfaatkan untuk salat berjamaah, salat Jumat, kajian, dan kegiatan lainnya.
Diberi nama Masjid As Sunnah dengan ukuran luar 20 m x 20 m, ada satu hal yang sangat menarik.
Dari proses pemasangan pondasi, timbun lokasi, pengecoran, hingga tahapan finishing, seperti pasang granit, lebih banyak dikerjakan secara gotong royong.
" Mungkin 60-40? ", saya bertanya. Mereka menjawab lebih dari itu. Saya kejar, " 70-30 ?". Tetap lebih, menurut mereka.
Sebab, hanya kepala tukang saja yang diberi upah. Sementara, tukang-tukang dan pembantu lainnya dibuat bergiliran. " Paling tidak 80-20 lah. 80% gotong royong, 20% mengupah tukang ", akhirnya diestimasi seperti itu.
Kenapa sedemikian besar nilai gotong royong itu?
Nampaknya, kita perlu merenungkan tentang tujuan hidup di dunia, dan bagaimana cara menjalani kehidupan.
Bahwa hidup itu untuk beribadah! Termasuk dengan gotong royong membangun masjid.
Ibnul Qayyim (Al Fawaid hal.118) menukil jawaban seorang ahli zuhud ketika diminta seseorang untuk memberikan wasiat.
" Biarkan dunia diperebutkan oleh para ambisiusnya! Sebagaimana mereka membiarkan akhirat untuk para pemburunya. Hiduplah di dunia seperti lebah! Jika makan, makan yang baik. Jika memberi makan, memberi makan yang baik. Bila hinggap di manapun, ia tidak membuat patah dan tidak membikin koyak "
26 Februari 2024
No comments