Kasus anak mencuri memang mencuri ketenangan hati. Orang tua manapun tentu terpukul dan serasa badan tak bertulang. Lemas!
Hal terpenting, jika anak ketahuan mengambil sesuatu, menyembunyikan, memakai, atau ditemukan padanya, padahal bukan miliknya, adalah jangan terburu-buru memvonis, " Kamu mencuri ya!, " atau " Dasar pencuri! ", atau " Kecil-kecil kok sudah belajar mencuri ", atau hal-hal lain yang sifatnya labelling.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda :
التأنِّي من الله والعجلةُ من الشيطان
" Bersikap tenang itu dari Allah. Terburu-buru dari setan " Dihasankan Al Albani dalam Sahihul Jami no.3011
Jika terjadi kasus demikian, jangan terburu-buru! Tenang dan bijak. Pelajari kasus dengan detil. Cari motifnya. Gali latar belakangnya. Temukan akar masalahnya.
Kepada pelaku, ajak bicara baik-baik. Jangan emosi! Buat dia nyaman dan jangan sampai ketakutan. Yakinkan dia bahwa jujur itu lebih baik dan dijamin aman. Berjanjilah padanya bahwa masalah tidak akan panjang lebar.
Terburu-buru memvonis, apalagi sampai gegabah menjatuhkan hukuman, justru akan membuat anak trauma dan tertekan. Bahkan, tidak sedikit anak yang terbawa hingga berpikir, "Lah wong aku tidak mencuri, kok dibilang mencuri. Ya udah, mencuri sekaligus saja lah".
Selama ini, dari kasus-kasus pencurian, saya menemukan sejumlah motif, antara lain ; alasan ekonomi, dipaksa, difitnah, tidak bisa membedakan antara meminjam dengan mencuri, sekadar kepuasan, terbiasakan lingkungan, proses adaptasi yang gagal dari kebiasaan di rumah dengan aturan pondok yang membatasi jajan, kepentingan kelompok, pembuktian atas tantangan, balas dendam, syubhat (aku belum baligh, aku pinjam kok buktinya aku catat sampai kalau ada uang aku ganti), meniru alur film bergenre pencurian, mencari perhatian, dan mungkin masih ada motif lainnya.
Kenapa harus mengetahui motif? Sebab, penanganannya akan berbeda sesuai motif. Anak usia 4 tahun yang mengambil barang milik temannya karena tidak bisa membedakan antara meminjam dan mencuri, tentu berbeda penanganannya dengan anak usia 12 tahun yang mencuri karena faktor ekonomi.
Selain konsep kepemilikan yang harus ditanamkan (telah dibahas pada tulisan sebelumnya), pemenuhan kebutuhan anak dan faktor lingkungan adalah 2 variabel yang sangat berpengaruh.
Kebutuhan anak haruslah diperhatikan dan dipenuhi. Tentu dengan aturan main, seperti ; tidak melanggar syariat, tidak berlebihan, tidak bermadharat, dan sesuai porsinya.
Kebutuhan anak tentu tidak cukup dengan sebatas mengikuti kemauan orang tua. Kebutuhan anak harus melibatkan anak untuk mengukur dan menakarnya. Sebab, setiap anak punya kadar kebutuhan masing-masing.
Ada anak cukup makan satu piring. Ada yang harus 2 piring. Dan ada yang setengah piring saja sudah kenyang. Ini contoh kasus saja.
Ketika kebutuhan anak tidak terpenuhi, akan mendorongnya untuk mencuri. Maka, orang tua harus mengingat tugasnya, yaitu memenuhi kebutuhan anak.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
“Seseorang cukup dikatakan berdosa, jika ia melalaikan orang yang ia wajib beri nafkah.” (HR. Abu Dawud, no. 1692)
Faktor lingkungan juga tidak boleh diabaikan. Lingkungan yang tidak mengajarkan etika kepemilikan sehingga individu-individunya asal pakai, menggunakan tanpa izin, lebih-lebih jika mencuri menjadi hal yang umum dilakukan, tentu berpengaruh pada pola hidup anak.
Berbeda jika anak tumbuh kembang di lingkungan yang baik, lingkungan yang membiasakan untuk menghormati hak kepemilikan, apalagi jika ditanamkan rasa takut kepada Allah, pasti akan memberikan efek positif pada anak.
Oleh sebab itu, pilihkanlah lingkungan yang baik, hadirkan suasana rumah yang mendidik, dan selektiflah memilih lembaga pendidikan untuk anak.
Semoga Allah Ta'ala menjaga anak-anak kita dan menjauhkan mereka dari perilaku buruk, termasuk mencuri. Aamiiin
bersambung.....
Thaif, 24 Januari 2024
No comments