Buatlah perbandingan yang apple to apple
Saya sedang mengingat saat dulu sekitar awal th 1998, saya mengantar teman saya mahasiswa psikologi untuk menulis sebuah karya ilmiah sosial. Teman saya ini ingin melakukan riset di sebuah tempat prostitusi. Waktu itu saat teman saya meminta saya untuk menemani, jujur aja saya agak ragu.
"Itu daerah rawan ! Ntar kalo gue kenapa-napa gimana ?"
"Nggak apa-apa, yang penting gaya kita jangan gemulai. Kan cara jalan lu udah lumayan gagah tuh, nggak bakal disangka pekcun lah !"
"Lagian kenapa sih risetnya harus ke lokalisasi, kan bisa ke tempat-tempat anak jalanan aja !" Aku masih protes
"Udah banyak yang ngadain riset anak jalanan. Tapi yang ngeriset prostitusi belum ada."
Hadeeehh akhirnya saya nurut. Kasihan juga kalo dia kesana sendiri. Tapi sebelumnya kami ngumpulin data gimana caranya supaya bisa ketemu induk semang mereka yang ternyata sering mereka sebut "simbok" orang daerah tertentu pasti tahu ini lokalisasi daerah mana. Eh kenapa gue bilang "pasti" ? Emang lokalisasi daerah tujuan wisata yang semua orang bisa tahu ? 🙈🙊😎
Hari pertama datang kesana. Aku dan temanku pakai celana jeans dan kaos serta dirangkap jaket kulit. Nggak ketinggalan kacamata hitam anti silau. Rambut panjang kami gelung masuk kedalam topi hitam. Oh iya pakai sepatu kets juga. Maksudnya untuk membedakan bahwa kami bukan pekcun. Setelah tanya sana sini ketemu juga kami dg "simbok". Kami minta untuk bertemu dan berbincang dengan "anak-anak simbok". Tapi sebelumnya "simbok" bertanya kami darimana dan ada keperluan apa ? Kami jelaskan bahwa kami mahasiswa, ada keperluan riset sosial, tapi kami bersedia bayar kok, begitu temanku memberi penjelasan. "Simbok" masih tetap ramah, tapi tetep aja muter-muter banyak alasan. Intinya kami nggak bisa ngobrol dengan satupun dari anak-anaknya, sebab mereka semua sedang melayani pelanggan. Akhirnya pulanglah kami. Karena lapar mampirlah kami di warung nasi dekat situ. Si ibu penjual nasi melayani kami dengan hormat. Saat kami makan, si ibu pemilik warung bertanya dengan suara lirih :
"Njenengan niku polisi nggih ?" Aku dan temanku bengong sejenak sambil berpandang pandangan dan menggeleng bersamaan. "Bukan bu." Si ibu mundur beberapa langkah, tapi masih memperhatikan kami.
"Tapi kok kados polisi nggih. Oohh wartawan nggih ?" Lagi-lagi kami menggeleng
"Lha trus njenengan niku sinten ? Enten keperluan menopo teng mriki ?" (Lha trus kalian itu siapa ? Ada keperluan apa disini ?).
Kami jelaskan saja bahwa kami mahasiswa, ada keperluan riset dengan "mbak-mbak boneka" disini. Tapi hari ini kami nggak bisa ngobrol sama "mbak-mbak boneka" sebab kata "simbok"nya mereka sedang melayani pelanggan. Kulihat si ibu warung mengangguk angguk.
"Ooohhh... mulakno... mangke nek mriki maleh ampun ngagem ageman kados ngoten. Njenengan diwastoni polisi utowo wartawan, dadose "simbok" meniko ngati ati !" (Oohh makanya lain kali kalo kesini lagi jangan pakai baju seperti itu. Kalian disangka polisi atau wartawan, jadi "simbok" itu berhati-hati !").
Hemmm mengertilah kami. 3 hari kemudian kami kembali lagi dengan pakaian berbeda. Pakai kaos 1/2 lengan dan rok umbrella. Saat menaiki tangga untuk berjumpa dengan "simbok" kami bertemu 2 orang laki-laki hidung zebra.
"Ketoke cah anyar ijek gres. Sopo seng wani ngereyen kudu kuat mbayar !" (Sepertinya anak baru masih gres. Siapa yang berani ngereyen harus kuat bayar). Anjrit ! Mereka pikir gue motor yang siap reyen ?! Hampir aku balik badan mau nonjok congornya, tapi temanku langsung sigap menahan langkahku.
"Sssttt... inget kita ada di sarang mereka !" Temanku berbisik setengah melotot. Akhirnya hari itu kami bisa ngobrol dengan 3 orang "mbak-mbak boneka." Ternyata ada mahasiswinya juga. Ada yang sudah janda. Ada yang belum menikah, terjebak di dunia hitam untuk menguliahkan adik-adiknya. Subhanallah. Ada "boneka barby" nya disitu, cantik banget ! Tapi bentar lagi mau resign, karena sudah dapat rumah mewah dan akan dijadikan gundig oleh salah satu pelanggannya. Kenapa saya sebut gundig ? Karena memang tidak dinikahi secara syah. Ada perjanjian kontrak, bahwa si barby khusus hanya melayani si om. Diberi 1 rumah mewah atas nama si barby cash sertifikat sudah di tangan. Sempat beberapa kali kami main ke rumah mbak barby untuk ngobrol-ngobrol melengkapi riset kami.
Ada kata-kata mbak barby yang masih saya ingat hingga saat ini :
"Saya ingin berhenti dari semua ini dek. Capek harga diri terinjak-injak. Saya juga pingin hidup normal, punya keluarga, punya suami, punya anak. Makin hari saya makin tua dan suatu saat akan mati. Saya takut bila mendengar kematian dek, karena saya tahu apa yang saya lakukan salah !" Dia berkata begitu sambil menahan tangisnya.
Hah ! Pelacur jaman dulu aja nggak bangga dengan prestasi melacurnya ! Masih punya rasa malu ! Masih punya rasa takut pada aparat negara dan media ! Masih punya rasa takut pada Tuhan akan datangnya kematian ! Sekarang cuma 80 juta aja bangga ?! Noh senior lo udah ada yang dapet rumah mewah aja punya malu !
Pertanyaannya mengapa mereka para "simbok" dan "mbak mbak boneka" jaman dulu itu sangat menjaga aktivitas mereka agar tidak terendus aparat negara dan wartawan ? Karena saat itu negara sangat ketat menjaga norma agama !
Sekarang ?! dimana negara ? Saat mereka tidak lagi takut bicara di media seolah aparat negara tidak ada. Media memberi ruang bicara dan mereka (para penjaja syahwat) itu bebas bicara dengan bangga. Bahkan ada yang menyatakan salut dan kagum pada mereka, kemudian membandingkan dengan status seorang isteri dengan segudang aktivitasnya yang hanya dibayar 10 juta perbulan. Kemudian wanita dengan status isteri ini dianggap lebih "murahan" daripada si pelacur yang dibayar 80 juta dalam semalam ? Gila !! Masa depan generasi bangsa diujung tebing ! Saat mereka yang berilmu dipaksa mengikuti logika berpikir si dungu sinting !
Sebenarnya perbandingan ini bukan semata-mata ditujukan pada wanita. Tapi juga pada laki-laki. Perbandingan ini menunjukkan bahwa ternyata masih ada laki-laki tolol yang rela merogoh kocek 80 juta buat bayar WC UMUM yang dipake banyak orang. Sehingga mengesankan toilet bersih dirumah yang terjaga kesehatannya itu tidak berguna. Semoga saja jumlah laki-laki tolol ini tidak banyak.
Satu lagi saat mengatakan wanita yang berstatus sebagai seorang isteri itu lebih murahan daripada pelacur yang dibayar 80 juta sekali kencan, sama saja mengatakan bahwa ibumu lebih murahan dari pelacur itu ! Tanyakan pada bapakmu berapa jumlah rupiah yang beliau berikan pada ibumu setiap bulan ? Sampaikah 80 juta ? Kecuali bila si pelacur itu adalah ibumu, maka kuanggap pembelaan ini adalah wajar.
Membandingkan harus apple to apple ! Masa' membandingkan barang bersertifikat dan bergaransi dengan barang black market. Tapi memang susah kalo ngomong sama monyet yang mulutnya udah kesumpel pisang. Susah ngasih tahunya kalo anggur itu lebih menyegarkan daripada pisang. Amatir yang pandir, pola pikirnya emang melintir !
Banten, 8 Januari 2019
Irene Radjiman
#MuslimahKaffah
No comments