Seorang Qadhi diangkat penguasa untuk memutuskan sengketa atau perkara. Syarat dan kualifikasi khusus, membuat jabatan Qadhi harus selektif. Tanggungjawab nya pun berat.
Khalifah Al Mu'tadhid ( wafat 289 H ) pernah berpesan kepada menteri kepercayaannya untuk menetapkan Ismail Abu Ishaq sebagai Qadhi di Baghdad dan Musa bin Ishaq sebagai Qadhi di Khurasan.
" Hak-hak penduduk bumi akan terjaga melalui sebab mereka berdua ", kata khalifah beralasan.
Siapa Musa bin Ishaq?
Al Khatib Al Baghdadi dalam Tarikh nya ( 15/51-53 ) menyebutkan nama lengkap beliau : Musa bin Ishaq bin Musa bin Abdullah bin Musa bin Abdullah bin Yazid, Abu Bakar Al Anshari Al Khatmi.
Kepada banyak guru beliau belajar, termasuk kepada ayahnya sendiri.
Lahir di Kufah tahun 210 H, beliau tumbuh berkembang dalam lingkungan ilmu, hingga dikenal sebagai pribadi yang berprinsip kuat dalam beragama, fasih berbahasa, dan terhormat. Usia 18 tahun telah mengampu majlis qira'ah Al Qur'an.
Beliau menulis hadis dari gurunya, Abu Kuraib, sebanyak 300 ribu riwayat.
Musa bin Ishaq menjabat sebagai Qadhi untuk wilayah Ahwaz, Khurasan, saat masih berusia 28 tahun. Musa meninggal dunia tahun 297 H dalam usia 86 tahun.
Saat menjabat Qadhi, beliau jarang sekali terlihat tersenyum. Lalu ada seorang wanita mengkritik, " Wahai, Qadhi. Tidak halal Anda memutuskan perkara orang. Sebab, sungguh Nabi ﷺ bersabda, " Seorang Qadhi tidak halal untuk memutuskan perkara antara 2 orang yang bertikai, sementara ia sedang dalam kondisi marah ".
Musa bin Ishaq pun tersenyum.
Tahun 286 H, di majlis Qadhi Musa bin Ishaq di provinsi Rayy, sebuah perkara diajukan.
Seorang perempuan menuntut suaminya untuk membayar uang sejumlah 500 dinar. 1 dinar kurang lebih 4 gram emas. Uang tersebut adalah mahar yang belum dibayarkan.
Suaminya mengingkari!
Qadhi Musa : Hadirkan saksi-saksi yang menguatkan!
Suami: Sudah saya hadirkan mereka.
Qadhi Musa lalu memanggil para saksi dari pihak suami.
Saksi I meminta istri : Silahkan berdiri !
Suami : Apa yang akan kalian lakukan?
Wakil pihak suami : Agar saksi-saksi melihat wajah istrimu sehingga persaksian mereka benar.
Suami : Sungguh! Saya bersaksi di hadapan Qadhi bahwa saya masih punya hutang mahar sebanyak 500 dinar sebagaimana yang dituntut. Namun, jangan buka wajahnya!
Istri: Sungguh! Saya pun bersaksi kepada Qadhi bahwa mahar saya telah saya berikan kepada suami saya dan saya bebaskan tuntutan darinya di dunia dan di akhirat.
Qadhi Musa : Hal ini layak dicatat sebagai akhlak mulia.
Subhanallah!
Suami yang luar biasa cintanya kepada sang istri. Ia tidak rela cadar istrinya dibuka lalu wajah istrinya dilihat orang lain. Taruhannya adalah 500 dinar, 2 kg emas!
Istri yang mengetahui cemburu sang suami -sebagai tanda cinta-, serta merta, tanpa banyak pikir, membatalkan tuntutan dan menyerahkan maharnya; kurang lebih 2 kg emas, kepada sang suami.
Kini, cerita semacam itu, dimana akan didapatkan?
Banyak suami yang tanpa rasa cemburu, tiada berat di hati, membiarkan sang istri bekerja di luar rumah dengan wajah yang bersolek dan berhias, lalu dinikmati kecantikannya oleh sekian laki-laki.
Padahal, berapa rupiah yang ia dapatkan? Berapa gram emas yang ia peroleh?
Sayang, kini banyak istri yang tersinggung dan marah, merasa dibelenggu dan dibatasi, karena sang suami memintanya untuk berjuang di rumah saja. Agar auratnya dijaga. Agar wajahnya tak "diobral" kemana-mana.
Bukannya bangga punya suami yang pencemburu, malah menganggap kurang menyayangi karena tidak memberi "kebebasan".
Nabi Muhammad ﷺ bersabda :
المرأةُ عورةٌ فإذا خرجت استشرفَها الشَّيطانُ
" Wanita adalah aurat. Jika keluar dari rumah, setan akan membuatnya menjadi obyek perhatian " HR Tirmidzi 1173 dari sahabat Ibnu Mas'ud.
Pintu 90, 12 Rajab 1444 H/03 Februari 2023
No comments