Umpama para wiraswastawan yang tidak memiliki gaji bulanan itu diibaratkan sang pelaut, sedangkan wabah ini laksana hujan badai dengan ombak ganas yang setiap saat dapat menenggelamkan kapal sang pelaut.
Bagi pegawai negeri yang digaji bulanan 4-8 kali UMR, mungkin suasana wabah ini tidak begitu terdampak. Apalagi bagi komisaris BUMN, meskipun perusahaan nya merugi penghasilan mereka tetap lancar tiap bulan.
Bagi wiraswastawan, tak jarang mereka harus nombok dalam kondisi seperti sekarang atau mungkin sudah gulung tikar. Ada yang terseok-seok untuk tetap menggaji karyawannya walaupun omzet terjun bebas, bahkan sudah tidak jualan hampir setahun lebih
Di pandangan aparat, pejabat eselon pemangku kebijakan, dan petugas kesehatan, bisa jadi para pedagang itu adalah tukang ngeyel pada aturan. Sudah disuruh tutup masih aja jualan. Padahal mereka jualan untuk dapat makan esok lusa tidak sampai menumpuk-numpuk harta.
Bagi pedagang, ini adalah cara tetap bertahan supaya karyawannya tetap bisa makan, menerima bayaran dan sisanya bayar cicilan.
Sebagai sesama pedagang, saya dapat merasakan apa yang ada dibenak hati mereka, saat barang dagangan disita, saat kursi meja diangkut, saat kios disemprot air damkar dan ini hanya berlaku bagi pedagang kecil.. pernah lihat pengusaha besar diperlakukan sama?
Sempat ngobrol dengan para pedagang, apakah kalian akan patuh menutup dagangan kalian jika negara menjamin gaji karyawan kalian dan memenuhi kebutuhan anak istri kalian selama dilarang buka?
Tapi bagaiman mungkin negara akan mampu menggaji dan menghidupi rakyatnya selama wabah, jika kekayaan alam sudah diserahkan dan dikelola asing? Jika BUMN merugi? Jika anggaran-anggaran dikorupsi? Yang menyakitkan bantuan sosial pun disunat oleh pejabat? NEGERIKU ...OHH...NEGERIKU
Bagaimana mungkin mau menghidupi rakyat selama pandemi, kalau untuk membayar bunga utang saja sudah sedemikian tinggi dan berhutang?
Apakah pantas jika kita ramai-ramai menyalahkan radikalisme dan intoleransi.?
No comments