PROPERTY SOLO

PROPERTY SOLO

JERUK NIPIS

Share:


Senyumku mengembang. Panen jeruk nipisku agak melimpah. Lima keranjang rotan seukuran besek tahlilan. Jika kuposting di laman sosial media, mungkin akan cepat laku. 


[Jual jeruk nipis fresh baru petik pohon, harga Rp15.000,- perkilo]


Tulisku di akun sosial media. Tidak lupa, aku pun memposting foto jeruk nipis yang bersanding dengan uang koin seribu perak bergambar kelapa sawit, agar si pembeli bisa mengira-ngira besar jeruk nipis hasil panenku. Kusetting pula agar semua orang bisa melihat jualanku dan meng-tag beberapa teman.


Tidak lama kemudian, sebuah notif komentar bertengger di sudut kiri atas ponselku. Cepat-cepat kubuka.


[Mbak, aku mau jeruknya. Tiga kilo, ya. Bisa anter ke alamat rumahku? Deket kok dari rumah njenengan.]


Seorang wanita dengan lima belas mutual friend mengomentari foto jeruk nipis yang tadi kuposting. Masih satu kota denganku.


[Inbox alamatnya ya, Bu.]


Sebuah notif messager masuk. Inbox dari si ibu yang ingin membeli jerukku, dia menuliskan sebuah alamat di daerah yang cukup jauh dari tempat tinggalku.


[Bu. Maaf, saya bisa mengantar pesanannya, tapi saya minta tambahan ongkos kirim lima belas ribu rupiah, ya?]


Aku membalas pesan darinya. Alamat yang dia sebut berjarak lima belas kilometer dari rumah, sehingga kuputuskan untuk menarik ongkos kirim.


[Mbak, aku beli 3 kilo, loh! Lagian kalau naik motor juga nggak nyampe empat puluh lima menit! Habis bensin juga nggak sampai tiga liter. Gratis ongkir, ya.]


Terpaksa aku setuju. Lebih baik mengalah diongkir, demi dapurku tetap mengebul. Membayangkan uang empat puluh lima ribu yang sangat lumayan bagiku. Mengingat bengkel suamiku tidak begitu ramai beberapa minggu ini, ditambah hari ini aku tidak memengang uang sepeserpun.


Kutimbang jeruk nipis itu sebanyak tiga kilogram. Memasukkannya ke dalam kantong kresek. Kuberi lebihan sepuluh butir, hitung-hitung sebagai bonus karena sudah membeli dalam jumlah lumayan banyak.


Setelah menempuh kurang lebih empat puluh lima menit perjalanan, akhirnya aku sampai juga di alamat yang dia dikirimkan.


Rumah berdesain minimalis modern dengan halaman lumayan luas yang dihiasi dengan taman bunga. Tiga pot anturium besar tertata rapi, empat bonsai setinggi setengah meter berada di pojok halaman dengan pot yang terlihat kokoh. Di garasi terbuka, sebuah pajero sport mengkilat bertengger. Tanpa terasa aku berdecak kagum, pemilik rumah adalah orang yang berkecukupan.


"Assalamualaikum! Permisi, Mbak. Saya mengantar jeruk nipis."


"Waaikumsalam." 


Seorang paruh baya keluar dari balik pintu rumah. Dia masih mengenakan seragam dinas salah satu instansi pemerintah.


"Ini pesanan, Bu. Total empat puluh lima ribu rupiah. Saya lebihin sepuluh butir," jelasku sambil tersenyum manis dan menyodorkan kantung kresek hitam yang kubawa.


Wanita itu meraih kantong kresek dari tanganku, kemudian membukanya.


"Loh, jeruk nipisnya kenapa kecil-kecil begini!" ucapnya dengan nada kecewa dan setengah berteriak.


"Itu sudah sesuai foto yang saya posting, Bu. Jeruknya ini juga sudah tua, airnya banyak." Aku mencoba menjelaskan.


"Aku nggak jadi ambil, deh! Barangnya nggak sesuai ekspektasi! Pembohongan publik itu namanya!" 


Dia menyodorkan kembali kantong kresek berisi jeruk nipis kepadaku. Perasaan bingung dan kecewa menyusup di dada.


"Ya Allah, Bu. Saya sudah jauh-jauh ke sini, kenapa tega dibatalkan begitu saja?" ucapku bergetar menahan emosi.


"Habisnya jeruk nipisnya jelek begitu." 


"Bu, anda ini ASN. Uang empat puluh lima ribu mungkin tidak ada artinya buat ibu, tetapi buat saya yang cuma kerja serabutan, uang sebesar itu cukup berharga. Saya ke sini pun pakai motor yang perlu bensin."


Kulontarkan semua kekecewaan di depan si ibu. Panas wajahku menahan tangis. 


"Ya udah deh. Begini saja, aku ambil semua tapi bayarnya separuh harga karena barangnya tidak sesuai harapan. Gimana?" ucapnya seraya mengambil uang dari saku baju.


"Di pasar, jeruk nipis perkilonya dua puluh ribu, Bu. Ini cuma 15 ribu saja. Sudah murah sekali."


"Ya udah sih, kalau nggak mau. Aku mau ambil jerukmu itu, tetapi ya itu tadi, bayar separuh harga." 


Dia menaruh dua pecahan sepuluh ribuan dan lima koin lima ratusan di tanganku.


Gamang menyusupi perasaan. Berat hati kuambil uang yang disodorkannya. Aku tidak ingin pulang dengan tangan hampa, sebab beras di rumah sudah menipis. Namun, jeritan hati tidak dapat aku pungkiri, jeruk nipisku dihargai hanya separuh harga.


Mau tidak mau, aku pun mengalah, sebab aku membutuhkan uang itu untuk membeli lauk. Yah, setidaknya, aku bisa membeli satu liter bensin dan beberapa bungkus mie instan dan sebutir telur untuk menu hari ini, pikirku.


"Terima kasih, Bu," ucapku seraya beranjak pergi.


Alhamdulillah, Mas. Kamu nggak makan nasi garam lagi. 

Tamat.


Spesial thanks buat mamaknya Dul yang ngasih izin membuat cerita kisah nyata yang beliau alami menjadi cerpen.


Pesan Moral, jika anda sudah hidup berkecukupan. Berbaik sangka lah dengan saudara seiman yang kekurangan dan sedang menjual sesuatu kepada anda.. sebagai tanda mensyukuri nikmat Allah..


Sumber: Bu Ika P Hertina 

https://t.me/moeslemdays



No comments

Featured Post

HIDUP TIDAK PERNAH BERMASALAH, KITALAH SENDIRI YANG MEMBUATNYA MENJADI MASALAH

  "Hari ini sungguh sial. Jalanan macet, angkot biadab berhenti sembarangan, bos di kantor kurang ajar, mengapa semua orang menjadi bod...