😢
Bagian ke-1
Judul itu saya ambil, karena ingat dengan kisah nyata yang dialami oleh almarhum KH. Acep Abdul Syakur, rahimahullah, pendiri Yayasan Asy-Syukriyah Tangerang dan salah satu pendiri dan deklarator Partai Keadilan (PK) sebelum menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
KH. Acep Abdul Syakur berkisah. Saat muda dahulu, setelah menyelesaikan pendidikannya di perguruan Asy-Syafi’iyah yang diasuh oleh alm KH. Abdullah Syafi’i di Jakarta, beliau mendapat panggilan untuk melanjutkan studi di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
Saat berangkat, beliau memilih berangkat lewat darat, melewati beberapa negara seperti Malaysia, India, Pakistan dan Turki. Saat di Turki beliau bertamu dan menginap di sebuah rumah bapak tua warga Turki yang sudah lanjut usia.
Di sela-sela singgah di rumah bapak tua itu, banyak kisah yang diceritakan oleh sang empunya rumah. Termasuk kisah dirinya di masa-masa sulit zaman pemerintahan sekuler Kamal At-Tarturk. Bapak tua ini mengalami zaman pemerintahan sekuler Turki era presiden Kamal At-Tarturk.
Beliau bercerita bahwa saat itu semua adzan di masjid-masjid harus diganti dengan bahasa Turki. Demikian juga dengan Al-Qur'an, masyarakat Turki tidak diperbolehkan menyimpan mushaf Al-Qur'an dengan tulisan Arab. Semuanya harus ditulis dengan bahasa Turki.
Singkat kata, arus sekularisasi begitu dahsyat. Suara adzan –meski dengan bahasa Turki – dibatasi. Ulama-ulama yang tegas dan lurus pun dikriminalisasi.
Acep bercerita, “Saya melihat tangan bapak tua itu ada bekas sobek atau codet agak ke dalam, saya pun bertanya, kenapa tangan bapak seperti ada bekas luka?”. Pak Tua itu bercerita, “Ini dahulu karena saya mempertahankan sisa mushaf satu-satunya yang saya miliki.
Saat itu aparat At-Tartturk setiap malam berkeliling patroli guna menangkap siapa saja yang melakukan perkumpulan atau pengajian. Malam itu mereka menyatroni rumah saya, tapi tidak menemukan saya. Karena saya sedang membaca Al-Qur'an di kandang kambing saya.
Saya menyimpan mushaf Al-Qur'an satu-satunya di kandang kambing karena khawatir akan disita oleh aparat jika menyatroni rumah saya. Dan dengan lampu minyak saya membaca Al-Qur'an itu di dalam kandang kambing.
Saya tidak sadar bahwa beberapa aparat sedang patroli di sekitar rumah saya. Karena mereka tidak menemukan siapa-siapa di rumah saya, mereka pun memeriksa daerah sekitar rumah saya.
Karena saya sedang khusyu’ membaca Al-Qur'an, kedatangan mereka mendekati saya tidak saya sadari. Dan tiba-tiba mereka menggebrak pintu kandang kambing saya, dan memaksa saya keluar dari kandang kambing sambil memegang mushaf Al-Qur'an yang masih dalam genggaman tangan saya.
Saat aparat itu melihat apa yang saya pegang dan akan merampasnya, saya bertahan memegang Al-Qur'an itu sekuat-kuatnya. Karena itu adalah mushaf berbahasa arab satu-satunya yang masih ada. Mereka terus memaksa ingin merebut mushaf itu dari tangan saya.
Saya pun tetap bertahan. Hingga pedang yang dibawa aparat itu mendarat di pergelangan saya dan merobek kulit tangan saya hingga mendekati siku. Tangan saya berdarah dan mulai melemah. Akhirnya mushaf Al-Qur'an itu berpindah ke tangan aparat. Itulah sebabnya tangan bekas sayatan pedang itu masih membekas hingga kini.”
Mendengar kisah almarhum KH. Acep Abdul Syakur tersebut, saya termenung, betapa sulitnya masa-masa itu untuk membaca Al-Qur'an. Bahkan mempertahankan mushaf Al-Qur'an harus berluka-luka.
Kemudian saya mengaca ke zaman now. Betapa zaman kita kini, kita masih bisa membaca Al-Qura'n tanpa sembunyi-sembunyi kapanpun kita mau. Namun mengapa kita tidak rajin membacanya?
[ bersambung ]
📖 Kompilasi Kisah Inspiratif & Hikmah Al Qur'an
No comments