Berdamai Dengan Bayang-Bayang Masa Lalu
Pertanyaan:
Ustadz, saya berniat ingin hijrah dan ingin serius menjalankan agama Islam. Saya ingin menjadi lebih baik. Tapi terkadang saya ragu untuk terus maju berhijrah karena teringat masa lalu saya yang penuh maksiat. Apakah mungkin saya bisa menjadi lebih baik sementara saya sudah melakukan banyak dosa?
Jawaban:
Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,
Keraguan yang muncul ketika hendak menjadi lebih baik, itu adalah talbis (bisikan) setan. Setan terus berusaha menghalang-halangi manusia untuk bertakwa dengan berbagai macam alasan yang nampak baik dan indah ke dalam benak manusia. Allah ta’ala berfirman:
تَٱللَّهِ لَقَدْ أَرْسَلْنَآ إِلَىٰٓ أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَعْمَٰلَهُمْ فَهُوَ وَلِيُّهُمُ ٱلْيَوْمَ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu, tetapi syaitan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka (yang buruk), maka syaitan menjadi pemimpin mereka di hari itu dan bagi mereka azab yang sangat pedih” (QS. An-Nahl: 63).
Oleh karena itu jangan ikuti bisikan setan, namun ikuti kebenaran. Dan tetaplah maju untuk menjadi lebih baik.
Menilai diri penuh kekurangan, itu baik
Anda ketika menilai diri Anda penuh dengan kekurangan, itu adalah sifat yang terpuji. Sudah semestinya kita menilai diri kita senantiasa penuh kekurangan dan dosa. Allah ta’ala mengabarkan tentang perkataan Nabi Adam dan istrinya ketika dikeluarkan dari surga:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya berkata, “Wahai Rabb kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi”” (QS. Al-A’raf: 23).
Doa yang Allah ajarkan dalam ayat ini menunjukkan bahwa hendaknya kita senantiasa merasa penuh kekurangan dan menzalimi diri sendiri serta butuh akan ampunan Allah ta’ala.
Bahkan demikianlah keadaan para sahabat Nabi radhiyallahu’anhum. Mereka orang-orang yang mulia, namun bersamaan dengan itu mereka merasa penuh kekurangan. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah mengatakan:
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
“Aku pernah bertemu dengan 30 orang sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Semuanya khawatir diri mereka termasuk orang munafik. Tidak ada satu pun di antara mereka yang mengatakan bahwa dirinya beriman sebagaimana imannya malaikat Jibril dan Mikail” (HR. Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir, 5/137).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
أما سوء الظن بالنفس فإنما احتاج إليه؛ لأنَّ حسن الظن بالنفس يمنع من كمال التفتيش، ويلبس عليه، فيرى المساوئ محاسن، والعيوب كمالًا
“Adapun suuzan kepada diri kita sendiri, ini sangat dibutuhkan. Karena husnuzan kepada diri sendiri akan menghalangi kesempurnaan introspeksi diri, dan akan membuat merasa dirinya sudah baik, seseorang akan melihat keburukan dirinya sebagai kebaikan, dan melihat aib-aib dirinya sebagai kesempurnaan” (Madarijus Salikin, 189).
Yang lalu biarlah berlalu
Namun masa lalu tidak bisa kembali dan tidak bisa kita ubah. Sehingga tidak ada yang bisa kita lakukan terhadap masa lalu, melainkan membiarkannya berlalu dan fokus menjalani masa kini dengan lebih baik.
Lanjut baca:
https://konsultasisyariah.com/43678-bagaimana-berdamai-dengan-bayang-bayang-masa-lalu.html
No comments