Dua pekan lalu. Di sela-sela kegiatan Diklat Mudarrisin Mudarrisat di Ma’had Ta’zhimus Sunnah Wonosobo. Seorang sahabat memberikan sentuhan pijat untuk relaksasi.
Saya terdiam dan tak mampu menjawab ketika ditanya, “Berapakah jumlah tulang punggung manusia?”.
“ Dasar tidak tahu diri!”, ujarnya kepada saya.
Benar juga! Kalimat “Dasar tidak tahu diri!”, yang selama ini sering didengar bahkan diucapkan, baru saja saat itu saya paham. Betapa manusia tidak boleh bersombong diri. Manusia dilarang tinggi hati. Bagaimana ia akan sombong, sementara tentang dirinya sendiri tidak tahu?
Di dalam Al Qur’an, banyak ayat mengajak dan memerintahkan manusia untuk merenungkan asal muasalnya, proses penciptaanya, bagian-bagian tubuhnya, makan dan minumnya, sampai matinya. Bahkan setelah mati, apa yang terjadi pada tubuhnya.
Sebagai contoh adalah firman Allah Ta’ala dalam surat At Thariq ayat 5-7.
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ (5) خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ (6) يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ (7)
“ Maka, hendaklah manusia memperhatikan dari apakah ia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang dipancarkan. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan “
Allah Ta’ala juga berfirman dalam surat Adz Dzariyat ayat 21 :
وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“ Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?”
Membaca tafsiran ulama tentang ayat ini yang sangat beragam, menyadarkan kita bahwa banyak hal yang harus digali dan belum kita ketahui tentang diri kita sendiri.
Ada yang menafsirkan bahwa struktur tubuh manusia beserta tulang dan sendi-sendinya diciptakan lentur agar mudah beribadah. Ada yang menafsirkan manusia makan minum melalui satu jalur, sementara pembuangannya melalui 2 jalur.
Ada yang menafsirkan tentang proses penciptaannya semula dari tanah lalu air mani. Ada yang menafsirkannya dengan perbedaan warna kulit dan bahasa. Semua tafsiran diarahkan agar manusia tidak lupa hakikat ia diciptakan di dunia.
Ada sebuah riwayat dari Umar bin Abdul Aziz. Beliau menerima kabar bahwa putranya membeli mata cincin seharga 1.000 dirham.
Umar lalu menulis surat, “ Perintah saya kepadamu! Jual mata cincin yang engkau beli seharga 1.000 dirham itu, lalu sedekahkan semuanya. Belilah mata cincin senilai 1 dirham dan ukir di mata cincin itu :
رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً عَرَفَ قَدْرَ نَفْسِهِ
Arti dari kata-kata di atas adalah : “ Allah merahmati seorang hamba yang mengerti kadar dirinya!”
Al Utsaimin ketika ditanya tentang kata-kata di atas, menjawab “ Saya tidak mengetahui sumber riwayatnya. Namun, makna yang terkandung memang benar. Sebab, jika seseorang bisa mengukur kadar diri, ia akan tunduk kepada Rabb-nya dan beribadah sebaik-baiknya.”
Beliau melanjutkan, “ Jika seseorang menyadari kadar dirinya dalam pergaulan di antara manusia, ia akan paham bahwa ia tidak boleh sombong terhadap yang lain atau merendahkan orang”
Benar! Manusia memang harus tahu diri. Harus tahu jika dirinya sangat lemah. Gampang patah. Rapuh. Mudah terjatuh. Ia harus sadar bahwa dirinya bodoh, pengetahuannya terbatas, dan cara berpikirnya sempit. Ia pun harus mengerti bahwa mustahil ia hidup sendiri, tanpa orang lain.
Jika seseorang sombong lalu merasa dirinya sangat hebat, terbaik, dan paling bisa, ia menganggap semuanya bisa dikerjakan sendiri, bahkan ia meremehkan yang lain, maka artinya dia tidak tahu diri.
Anehnya, banyak orang tersinggung dan marah ketika dibilang, “ Dasar tidak tahu diri!”. Padahal tersinggung dan marahnya itu semakin memperkuat posisinya sebagai orang yang tidak tahu diri.
Lendah, 20 Muharram 1445 H/07 Agustus 2023
sumber : t.me/anakmudadansalaf
No comments