Bagi hamba, dosa dirasakan pahit. Tak hanya sepahit empedu, bahkan lebih dari itu. Dosa, walau telah berlalu, membuat hati susah dan sempit.
Pada diri manusia, ada suatu kebutuhan melebihi kebutuhan makan, minuman, pakaian, seksual, bahkan bernapas.
Sepanjang kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, jiwa akan selalu goncang, bimbang, dan bingung. Ia tak tahu arah melangkah, dan tak mengerti di mana mesti berhenti.
Kebutuhan itu disebut ubudiyyah! Setiap jiwa harus terpenuhi ubudiyyah nya sebagai kebutuhan hidup nomor satu. Ubudiyyah artinya menghambakan diri sepenuhnya, dan menyerahkan hidup matinya seutuhnya, hanya untuk Allah Ta’ala.
Semakin dekat hamba kepada Allah, pasti semakin tenang jiwanya. Jika ia merasa bingung, bimbang, dan cemas, itu pertanda jauh dari Allah Ta'ala.
Kisah seorang pembunuh yang diceritakan Rasulullah (HR Bukhari dari Abu Said Al Khudri no.3470), tentu lekat di ingatan. Betapa ia mengalami puncak kegalauan dan kebingungan. Sudah 99 nyawa yang melayang melalui tangannya. Dosa memang membuat jiwa sempit dan sesak.
Maka, ia berusaha mencari cara agar terbebas dari sempit dan terlepas dari beban menghimpit. Dan ia sadar harus bertanya.
Orang pertama yang ditanya, karena kebodohannya, justru menambah sempit hatinya. Malah semakin sesak ia. Ia yang hendak menemukan jalan terang, justru dijawab, " Tidak! ". Artinya, tidak ada lagi kesempatan untuk meresidu masa lalu. Akhirnya, orang pertama itu dibunuhnya. Genap 100 nyawa!
Namun, ia tak lelah mencari. Tak menyerah untuk membersihkan diri. Hingga Allah pertemukan ia dengan orang yang bijak. Lemah lembut dan penuh kasih, orang itu menyejukkan, " Tentu masih ada kesempatan! Siapakah yang bisa menghalangimu untuk bertaubat?".
Cerah berbinar wajahnya. Ibarat air untuk yang kehausan. Bagai cahaya setelah terkurung dalam gelap. Seperti terbebas dari penjara. Seumpama orang yang dinyatakan bebas dari hukuman mati.
Hidup baru. Harapan baru. Cerita baru telah ia mulai.
Walau demikian, pesan orang bijak itu haruslah dilaksanakan sebagai pondasi hidup barunya, yaitu : " Menetaplah di negeri sana, karena ada orang-orang saleh beribadah di negeri itu. Jangan kembali ke negeri asalmu, sebab negerimu adalah negeri yang buruk".
Takdir Allah Ta'ala pasti berlaku. Orang itu meninggal dunia di tengah perjalanannya. 2 malaikat bertengkar. Malaikat Rahmat membela, " Ia telah datang sepenuh hati untuk bertaubat ". Namun, Malaikat Adzab beralasan, " Tapi, ia belum pernah satu kali pun berbuat baik".
Lalu, datanglah malaikat penengah yang mengarahkan agar, " Ukur saja jarak tempat ini dengan kedua negeri. Lebih dekat kemana, maka ia digolongkan dari penduduk negeri tersebut!".
Setelah diukur, ia lebih dekat jaraknya dengan negeri orang-orang saleh. Malaikat Rahmat pun yang berhak.
Demikianlah! Seseorang yang sungguh-sungguh ingin meresidu masa lalu, tulus mengharap ridha Allah, niscaya tak akan sia-sia usahanya. Selalu ada jalan dan terbuka gerbang untuknya.
Apalagi hal itu dialami oleh kaum remaja. Tidak sedikit remaja melakukan perbuatan yang melanggar norma agama, etika, atau aturan komunitas.
Di masa, yang remaja ; serba penasaran, ingin coba-coba, cari perhatian, muncul ketertarikan pada lawan jenis, tak mau dianggap anak kecil, labil, puber, ingin diakui eksistensinya, dan hal-hal negatif lainnya.
Lalu memasuki usia dewasa, ia merasakan jenuh dan galau luar biasa. Ia mulai mencari jalan untuk keluar dari kesempitan hati agar lapang. Ia sadar harus keluar dari lorong labirin yang gelap.
Bukankah kita akan menyambut dan mengatakan, " Tentu masih ada kesempatan! Siapakah yang bisa menghalangimu untuk bertaubat?".
Jangankan remaja, yang sudah tua-tua saja masih belum sepenuhnya meresidu masa lalu. Bukankah lirik lagu dan irama masih mengalir darimu? Bukankah wajah seseorang yang dulu sempat spesial terkadang hadir di ingatanmu?
Maka, meresidu masa lalu perlu perjuangan yang berat. Pandanglah orang lain seperti engkau memandang dirimu.
Cimanggis, 15 Juli 2023.
No comments